Red Crown Glitter Ribbon

Jumat, 23 Maret 2018

1 X 24 JAM DI PESANTREN




Metodologi Studi Islam adalah mata kuliah yang saya pelajari di semester 2 yang diampu oleh Bapak Endy Saputra, M.A . Di semester 1 beliau juga mengajar di kelas saya pada mata kuliah Sejarah Peradaban Islam. Setiap tugas mata kuliah beliau, membuat para mahasiswanya terutama saya menjadi punya pengalaman baru semasa kuliah di IAIN Surakarta ini yang mungkin tidak bisa saya dapatkan dari dosen lain. Contohnya untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam saya harus “mendongengkan” salah satu bab yang ada di buku Sejarah Islam Yang Hilang karya Firas Alkhateeb. Tempatnya ditentukan antara di depan Galeri FEBI atau perpustakaan pusat IAIN Surakarta. Yang mana itu dilihat oleh banyak orang berlalu lalang, direkam, dan di upload ke youtube. Untuk pertama kalinya saya berbicara di depan banyak orang di tempat umum. Itu sangat-sangat membuat mental saya teruji selain harus mengingat-ingat cerita yang akan saya sampaikan saya juga harus menghilangkan rasa malu dan ketidakpercayaan diri saya . Namun itu salah satu pengalaman yang berkesan bagi saya.
Bertemu lagi dengan beliau di semester 2 ini. Saya sempat penasaran tugas ”olahraga jantung” apalagi yang mungkin diberikan oleh Pak Endy selain tugas-tugas beliau yang selalu “memaksa” mahasiswanya untuk gemar membaca. Dalam rangka mengetahui bagaimana cara klasik studi islam diajarkan beliau memberi tugas untuk live in di pondok pesantren selama 1 x 24 jam. Wah! Itu sedikit apa ya? begitulah pokoknya. Kehidupan di pondok pesantren itu belum pernah terpikirkan untuk saya masuki. Entahlah apa alasannya saya juga tidak tahu. Baik kali ini saya akan menceritakan perjalanan saya dari mencari pondok pesantren hingga saya selesai live in di pondok pesantren.
Pada tanggal 8 Maret 2018 tepat hari kamis sekitar jam 9 saya dan 4 teman saya yang lain mencari pondok pesantren menggunakan sepeda motor di sekitaran Sukoharjo. Awalnya saya mendapat informasi pondok pesatren di daerah Ngemplak. Saat saya dan teman-teman kesana kita tidak menemukan tempatnya. Lalu kita berhenti di gubug sawah pinggir jalan untuk mencari pondok pesantren di Sukoharjo lewat google. Ketemulah beberapa daftar pondok pesantren. Kita sortir pondok pesantren yang jaraknya paling dekat dari tempat berhenti kita tadi. Pilihan kita jatuh pada Pondok Pesantren Tahfizhul Qura’an Ulul Albab. Saat kita buka websitenya terpampang foto santriwati bercadar. Agak sedikit syok sih karena kemungkinan besar saya dan yang lain harus ikut bercadar seperti mereka. Tapi enggak apa-apa juga kita coba aja dulu.
Ponpes khusus tahfiz ini terletak di Tulakan, Godog, Polokarto Tromol Pos 02, Sukoharjo. Sesampainya disana saya bertemu dengan Umi Latifah, setahu saya beliau adalah orang yayasan. Awalnya saat kita meminta izin ke beliau terkesan kurang welcome , saya tidak tahu apa alasannya apa mungkin karena pakaian yang saya dan teman-teman kenakan atau yang lain entahlah. Namun setelah itu Umi Latifah menghubungi Ustadz Halim selaku pimpinan ponpes. Saya dan yang lain diminta untuk bertemu dengan Ustadz Halim di kantor ponpesnya untuk bisa menyampaikan langsung maksud dan tujuan kita datang kesana. Saat saya masuk ke gedung baru yang di dalamnya ada masjid dan kantor. Saya disambut dengan tatapan-tatapan para santri yang awalnya sedang mengaji. Saya dan teman-teman seperti artis baru yang menjadi pusat perhatian mereka. Sampai salah satu santri yang kira-kira masih seumuran SD menghampiri saya dan bertanya mau kemana. Mungkin karena almamater jeruk baby yang saya kenakan yang terlihat begitu mencolok bagi mereka.
Sesampainya di kantor saya menyampaikan maksud dan tujuan saya datang ke Pondok Pesantren Tahfizh Quran Ulul Albab ini. Saya bernegosiasi untuk bisa mendapatkan izin live in 1 x 24 jam di ponpes tersebut. Bersyukur Ustadz Halim mengizinkan saya dan teman-teman menginap. Beliau menyampaikan hanya bisa menyediakan tempat untuk tidur dan juga menyarankan kita untuk menyesuaikan pakaiannya dengan santriwati disana. Saya menyanggupi hal tersebut karena juga sebagai bentuk rasa menghargai terhadap para santriwati dan ustadzah disana. Saat saya datang saya belum menentukan kapan saya dan teman-teman akan live in karena belum berdiskusi dan disesuaikan juga dengan jadwal kuliah dan jadwal yang ada di pondok pesantren. Kemudian kita berpamitan untuk ke kampus. Di perjalanan kita mampir untuk makan siang di warung mi ayam bakso.
  Sampai di kampus saya mengurus surat perizinan di akademik untuk diberikan ke pimpinan ponpes. Alhamdulillah tidak direvisi seperti saat pertama kali saya mengajukan surat izin mengajar yang direvisi sampai 4 kali. Hanya saja saya lupa mencetak sebanyak 2 lembar sebagai arsip di akademik, jadi saya balik ke tempat fotocopy-an untuk mencetak 1 lembar lagi. Surat izin saya antarkan ke ponpes pada hari selasa sekalian make sure kapan akan live in di ponpes tersebut. Saya dan teman-teman memilih hari Sabtu sore hingga minggu sore tanggal 17-18 Maret 2018. Awalnya kita akan live in pada tanggal 10-11 Maret, tetapi karena ponpes belum siap jadi diundur satu minggu.
Tibalah waktunya saya menginap satu hari satu malam di Pondok Pesantren Tahfiz Ulul Albab. Dengan berbekal baju gamis pinjaman teman dan cadar delapan ribuan saya berangkat jam setengah 3 sore dengan keadaan hujan yang cukup deras. Menggunakan mantol, mengendarai motor, dan memboncengi teman saya di belakang alhamdulillah bisa sampai dengan selamat dan basah. Kedatangan saya tetap saja menarik bagi mereka. Padahal saya sudah menyesuaikan pakaian saya sperti mereka. Disana kita disambut oleh Ustadzah Dini dan Ustadzah Hanifah sebagai pembimbing selama saya berada di ponpes. Saya langsung digiring ke pondok kawasan ulya lantai dua ruang IST singkatan dari Imarotusy Syu’unit Thalibaat sejenis OSIS jika di sekolah menengah.
Dalam suasana hujan yang masih sayup-sayup turun saya disuguhi segelas teh anget dan kipas angin yang menyala pas menghadap saya, nikmat sekali. Saat saya mau meminum teh angetnya teman-teman saya sudah pada menanyakan bagaimana kegiatan-kegiatan yang ada disana. Baru beberapa seruput, mereka sudah tanya bagaimana tes awal masuk pondok pesantren. Mbok basa-basi dulu istirahat dulu setelah satu jam perjalanan kita lewati bersama, tapi mungkin mereka saking semangatnya live in di ponpes ini sampai tidak mau menyianyiakan waktunya. Lalu karena saya dan yang lain belum sempat sholat ashar kita izin untuk melaksanakan sholat ashar. Sekaligus diantarkan ke tempat istirahat tamu yang ada di lantai satu.
Beristirahat sampai saat adzan maghrib tiba. Di susul bunyi bel sebanyak tiga kali pertanda para santriwati untuk persiapan sholat maghrib berjamaah. Saya ikut untuk sholat maghrib berjamaah di mushola lantai tiga bersama santrwati lainnya. Tanda bel dua kali artinya santriwati sudah harus berada di mushola dan bel satu kali adalah tanda keterlambatan. Di mushola itu lagi-lagi saya merasa seperti anak santriwati baru. Saya malah agak takut dengan tatapan mereka. Sambil menunggu waktu iqomah diisi dengan membaca Al-quran atau menghafal surat. Kemudian sholat maghrib dimulai, diimami oleh imam perempuan. Jujur saat imam membaca surat pendek dalam sholat saya tidak tahu surat apa yang sedang dibaca. Itu menandakan saya memang miskin akan pengetahuan surat-surat di Al-quran. Namun tidak heran juga karena mereka dididik untuk menjadi hafizhul quran.
Selesai sholat maghrib dilanjutkan dengan qira’ah bersama-sama selama kurang lebih 10 menit. Setelah qira’ah saya ke ruang istirahat tamu dan kemudian saya makan makanan yang telah disediakan oleh Ustdazah Dini dan Ustadzah Hanifah. Saya merasa tidak enak sekaligus enak. Tidak enak karena telah merepotkan dan enak karena makanannya ayam goreng. Santriwati juga makan, mereka menggunakan nampan sebagai tempat nasi dan lauknya, biasanya sekalian untuk satu kamar. Makan sambil bercerita sampai masuk waktunya sholat isya. Sama seperti saat  sholat maghrib hanya saja selesai sholat tidak ada qira’ah. Saat selesai sholat saya mewawancarai beberapa santriwati mereka adalah Imah, Hanifah, Meyla, dan Wardah.
Saya bertanya kepada mereka bagaimana cara mereka menghafal surat-surat yang ada di Al-quran. Mereka selalu membaca berulang-ulang menggunakan Al-quran hafalan berwana merah atau hijau terus sampai mereka hafal. Setoran hafalan terserah pada santri  bisa satu muka, satu lembar, dan sebagainya. Dengan nada ceria dan malu-malu mereka menceritakan apa saja kegiatan yang ada di pondok pesantren. Seperti sabtu sore tadi seharusnya ada kegiatan halaqoh yaitu dakwah keliling. Biasanya santri akan tausyiah di tempat terbuka seperti di sawah namun karena keadaan hujan jadi tidak dilakukan. Saya terus berbincang-bincang dengan mereka. Mereka sangat santun dan sangat pemalu. Hanifah contohnya dia sudah hafal 30 juz asli dari Bima NTB. Dia jauh-jauh sampai Sukoharjo untuk bisa menjadi hafizh. Dia tidak memilih pondok pesantren tahfiz yang ada di NTB karena dia merasa disana kurang serius tidak seperti yang ada di Ulul Albab. Saking pemalunya Hanifah dia meminta temannya untuk menyampaikan pertanyaan yang ingin ditanyakan kepada saya dan teman-teman.
Pertanyaan dari Hanifah ini disampaikan oleh Meyla. Pertanyaan ini membuat saya mengaduh dalam hati. Dia bertanya “kakak sudah hafal berapa juz?”. Jawaban saya hanya senyum pada saat itu. Tidak tahu mau jawab apa karena malu dengan adik-adik ini. Malah mereka yang memberi kita semangat untuk ayolah kak mumpung masih ada waktu menghafal Al-quran. Saya lagi-lagi hanya tersenyum, saya merasa bukan apa-apa dibandingkan dengan mereka. Lalu saya alihkan mereka melanjutkan pertanyaan saya tentang kegiatan-kegiatn di pondok pesantren. Setelah sholat isya berjamaah akan ada acara penertiban peraturan oleh IST. Biasanya akan diumumkan siapa-siapa saja yang telah melanggar peraturan seperti datng terlambat saat sholat dan kamar siapa yang paling bersih dan kotor.
Setelah perbincangan tadi saya kembali ke ruang istirahat. Sedangkan santriwati persiapan untuk belajar malam dari jam 8 sampai jam 9 malam. Kemudian mereka tidur sampai jam 3 untuk melaksanakan sholat tahajud. Selesai sholat tahajud biasanya diisi dengan tadarus untuk menunggu sholat subuh. Jam 4 dimulai sholat subuh berjamaah. Selesai sholat subuh mereka menyempatkan untuk dzikir pagi. Baru setelah itu persiapan untuk muraja’ah yaitu mengulang hafalan Al-quran. Sebelum muraja’ah mereka ada yang mandi, mencuci baju, menonton tv yang hanya berisi tausyiah atau pembacaan Al-quran, dan sarapan. Setelah itu mereka muraja’ah dari jam 6 sampai jam 9. Biasanya santriwati mengunjungi rumah ustadzah pembimbingnya untuk mengulang hafalan.
Saat sudah selesai mandi dan sarapan saya mengunjungi salah satu Ustadzah yang sedang menyimak santriwati yang muraja’ah. Saat itu mereka sedang mengulang hafalan surat Yusuf, Ar Rad, dan Ibrahim. Dua santriwati duduk saling berhadapan dengan posisi Ustadzah di tengah. Di atas meja antara dua santriwati terdapat Al-quran milik santriwati dalam posisi terbuka sesuai surat yang dihafal. Mereka lalu melantunkan hafalan-hafalannya. Setelah selesai mengulang hafalan, sekitar setengah 9 mereka kemudian mengikuti apel pagi sebelum mengikuti pembelajaran. Pembelajaran dilaksanakan pada hari sabtu sampai kamis, sedangkan tahfiznya dari hari ahad sampai kamis. Di ponpes Ulul Albab ini terdapat sekolah setara dengan SMP atau disebut wustho dan SMA yang disebut ulya/aliyah. Ada juga TQM atau Tahfiz Quran Murni yang hanya fokus pada haflan saja tanpa mngikuti pembelajaran setara SMP/SMA.
Wustho maupun ulya masing-masing memiliki empat tingkatan, yaitu tahun pertama adalah kelas takasus. Kelas ini khusus untuk pelajaran-pelajaran keagamaan seperti aqidah, bahasa arab, fiqih, ulumul quran, tahsin, tajwid, dan sebagainya. Sedangkan pada kelas 1, 2, dan 3 baru dimasukkan pelajaran umum seperti Matematika, Bahasa Inggris, IPA, IPS, dan Bahasa Indonesia. Mereka menggunakan sistem paket untuk mendapatkan ijazahnya. Saya melihat-lihat suasana kelas wustho dan ulya. Saya masuk ke kelas wustho takasus. Saya disambut dengan sapaan yang bersemangat dari santriwati disana dengan menggunakan bahasa arab yang artinya selamat datang bu guru. Setelah itu saya mengajak mereka untuk foto selfie. Sebelumnya saya menyilakan mereka yang memakai cadar untuk memakainya terlebih dahulu. Pada awal-awal masuk memang ada yang memakai cadar ada yang tidak. Namun setelah beberapa waktu baru mereka semua memakai cadar karena seperti sudah budayanya sana memakai cadar.
Sudah melihat-lihat kelas saya berkeliling melihat bangunan yang lain. Seperti pondok kawasan wustho, kamar-kamarnya, dan musholanya. Pembelajaran selesai sampai waktu dzuhur. Seperti biasa mereka melaksanakan sholat dzuhur berjamaah. Tetapi saya dan teman-teman tidak ikut sholat dzuhur berjamaah karena ketiduran setelah berkeliling pondok pesantren. Saya lalu melaksanakan sholat dzuhur berjamaah dengan teman-teman di ruang istirahat saja. Selesai dzuhur saya makan siang. Jika tadi pagi saya sarapan dengan lele bakar. Siang ini saya makan bakso. Begitupun para santriwati, setelah sholat dzuhur mereka makan siang. Setelah makan siang mereka bisa istirahat atau persiapan untuk setoran hafalan baru. Mereka ada yang sambil tiduran, duduk di tangga, di balkon membaca berulang-ulang lalu hafal sambil menunggu sholat ashar. Setoran baru akan dimulai dari jam 3 sore sampai jam 5 sore sistemnya sama seperti saat muraja’ah. Terus seperti itu setiap harinya.
Untuk kelulusan santri di ponpes Ulul Albab sendiri harus memenuhi syarat seperti menghatamkan setoran tahfizh 30 juz dan mengikuti ujian tiga tahap. Ujian tiga tahap itu, yakni tahap pertama 3 juz perhari selama 10 hari. Tahap kedua 5 juz perhari selama 6 hari. Tahap ketiga 10 juz perhari selama 3 hari. Santri Ulya atau TQM yang selesai ujian tahfizh sebelum tahun terakhir dan memenuhi persyaratan untuk mengajarkan dimagangkan menjadi asisten guru tahfizh.
Setelah selesai melihat santri menyetorkan hifzhul jadid atau hafalan baru. Selesai pula live in saya dan teman-teman di Pondok Pesantren Tahfizh Ulul Albab ini. Kesan awal saat saya tahu tentang Pondok Pesantren Ulul Albab ada pada cadarnya. Bagaimana mereka memakai cadar sebagai budaya mereka. Meskipun sekarang ini masih ada orang yang mengkait-kaitkan muslimah bercadar dengan orang-orang yang menutup diri, tidak bisa bergaul dengan yang lain, atau bahkan dituduh teroris. Meskipun memang saya juga baru tahu dari Pak Endy. Bahwa Pondok Pesantren Tahfizh Ulul Albab itu dulunya adalah tempat para istri mantan teroris. Tetapi saat saya disana mereka sangat tulus. Mereka melayani tamu dengan sangat mulia. Kalimat populernya adalah “Don’t judge book by the cover” . Ini juga sebagai pembelajaran bagi saya untuk bersikap willingness to suspend judgement atau tidak terburu-buru dalam melakukan penilaian.
            Selain itu memikirkan pertanyaan dari Hanifah  tentang berapa juz yang sudah bisa saya hafal. Saya memang bukan apa-apa dibanding mereka. Hanya dengan membacanya berulang-ulang maka otomatis akan hafal di kepala. Sesederhana itu sebenarnya. Tetapi memang butuh fokus dan kegigihan yang tinggi jika kita memang ingin menghafal Al-quran. Dan yang paling penting istiqomah dalam melakukannya. Istiqomahnya itu yang tidak mudah. Karena dengan kesibukan saya atau teman-teman akan perkuliahan ini. Namun bukan sebagai alasan yang tepat juga tidak bisa menghafal karena mungkin tugas kuliah yang tiada berhentinya. Kembali lagi bagaimana orientasi kita dalam kehidupan ini. Saya pun masih sulit unutk melakukan itu.
            Selama di pondok pesantren saya belajar dari kesederhanaan mereka. Bukan berarti saya hidup mewah. Tetapi bagaimana keinginan mereka yang ingin membanggakan orangtunya dengan menghafal Al-quran dan menjad hafizh itu sungguh sangat mulia. Makan sederhana, tidur dengan kasur yang hanya muat satu orang, tidak boleh menonton televisi selain acara tausyiah, atau tidak menggunakan komputer atau smartphone. Yang mungkin anak zaman sekarang susah untuk menjauh dari gadget-nya terlepas dari dampak buruknya. Smartphone memang sangat dibutuhkan apalagi sebagai mahasiswa yang hampir semua informasi disampaikan atau diakses lewat smartphone. Saya jadi punya keinginan saat saya punya anak nanti mungkin saya akan memasukkannya ke pondok tahfizh.
            Pengalaman baru lagi yang saya bisa dapatkan dari tugas yang diberikan oleh Pak Endy. Selalu membuat mahasiswanya memiliki hal-hal yang berkesan selama di semester 1 dan 2 ini. Mempunyai cerita-cerita baru yang bisa diularkan ke teman-teman yang lain. Sayang, beliau hanya mengajar pada semester 1 dan 2 saja. Coba kalau sampai semester 5 atau 6, mungkin kita diberi tugas untuk jalan-jalan keluar negeri. Who Knows?

Rabu, 21 Maret 2018

Perkenalan Yang Singkat atau Cintanya Yang Kurang Kuat?

           Perceraian antara Taqy Malik dan Salmafina akhir-akhir ini menjadi kabar yang santer dibicarakan. Seorang hafizh qur’an yang menikah dengan mantan “badgirl” yang lalu memutuskan untuk hijrah membuat masyarakat penasaran bagaimana sih awal perkenalan mereka. Dari berita-berita yang saya baca perkenalan antara kedua insan ini tidak berlangsung lama. Berawal dari Salma yang mengirimkan direct message ke instagram Taqy lalu saling berkomunikasi lewat line pada akhirya Taqy mengajak Salma untuk berta’aruf. Tanggal 16 September 2017 mereka memutuskan untuk menikah muda pada usia Taqy Malik 20 tahun dan Salmafina 18 tahun. Sayangnya pernikahan ini berlangsung singkat, yaitu hanya bertahan selama tiga bulan saja. Mengapa mereka dengan mudahnya memutuskan untuk bercerai. Bukankah pernikahan itu hal yang sangat sakral yang diharapkan hanya terjadi sekali seumur hidup. Apa karena mereka belum cukup saling mengenal bagaimana kepribadian pasangan atau karena cinta mereka tidak begitu kuat?sehingga dengan mudahnya bercerai. Kalau tidak cinta ya kenapa nikah? Atau kalau tidak kenal ya kenapa nikah?. Menghindari zina? Jika menikah muda hanya menghindari zina tanpa adanya bekal yang baik dan akhirnya bercerai, meski diperbolehka bukakah Allah membenciya?.
          Bicara  tentang nikah muda saya termasuk orang yang menghindari hal itu terjadi terhadap saya. Sebenarnya bukan nikah mudanya juga sih yang salah hanya saja terburu-buru dalam memutuskan menikah muda tanpa persiapan atau bekal yang baik. Biasanya pernikahan pada usia ini hanya didasari oleh perasaan saling mencintai dan saling ketergantungan satu sama lain tanpa memikirkan bahwa kehidupan rumah tangga tidak hanya tentang rasa saja. Maka dari itu selain karena sangat tidak dianjurkan oleh orang tua saya. Umur yang muda masih memiliki tingkat keegoisan dan emosi yang belum stabil yang bukannya menyelesaikan masalah malah adu argumen karena tidak mau kalah.  Anak-anak muda cenderung masih ingin menikmati masa-masa kebebasan.  Namun kalau sudah menikah kita harus mengurusi segala sesuatu tentang rumah tangga apalagi kalau sudah punya anak. Sementara kita belum puas menikmati masa muda kita. Karena saat sudah menikah otomatis prioritas kita ada pada keluarga. Contohnya jika kita mau jalan-jalan dengan teman-teman, kita jadi tidak leluasa karena punya tanggung jawab mengurusi keluarga dirumah. Atau saat beli baju untuk diri sendiri tapi kepikiran anak yang susunya habis, malah nggak jadi beli deh.
          Selain itu dalam segi kesehatan  juga akan menimbulkan masalah. Di bawah usia 20 tahun bagi seorang perempuan organ reproduksinya belum siap untuk berhubungan atau mengandung.  Jika sudah hamil maka berisiko mengalami keguguran bahkan kematian. Kedewasaan yang belum matang, ketidaksiapan dalam menyelesaikan masalah, dan emosi yang naik turun membuat masalah rumah tangga timbul seperti pertengkaran, kekerasan, bahkan perceraian. Faktor-faktor yang menyebabkan perceraian terjadi. Yang pertama adalah perselingkuhan. Kalau saya bilang point ini sangat sulit untuk ditolerir dalam suatu hubungan apalagi pernikahan. Pacar yang chattingan dengan perempuan lain saja kita marah-marah bahkan minta putus. Apalagi itu terjadi pada pasangan yang sudah resmi. Namun ada yang tetap bertahan demi masa depan anaknya. Pikiran paling pendek menurut saya tentang perselingkuhan mungkin karena seorang bosan dengan hubungnnya lalu mencari orang baru sebagai pelampiasan. Atau tergoda dengan perempuan lain atau seing disebut pelakor yang beritanya juga tidak kalah hebohnya.
           Yang kedua karena KDRT atau Kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya ini terjadi pada suami yang melakukan kekerasan terhadap istri. Seorang istri adalah manusia yang lebih peka dalam memakai perasaan dan hati, kekerasan yang terjadi terhadapnya akan membuatnya lebih memilih memutuskan hubungan perkawinan daripada bertahan. Yang ketiga adalah perbedaan prinsip. Saat ini saya masih merasa bahwa alasan perceraian karena beda prinsip itu adalah hal yang kurang real.  Tetapi jika dilihat tidak sedikit pasangan yang beda agama masih saja langgeng pernikahannya. Memangnya apa yang lebih berprinsip dari yang namanya agama?.
            Mungkin saya bisa ambil contoh perdebatan antara kedua orangtua saya karena beda prinsip. Perdebatan tentang Adik saya yang mau disekolahkan di umur yang masih kecil. Ternyata hal tersebut bisa menjadi pertengkaran bagi mereka. Namun tidak sampai membuat mereka berpisah. Atau tentang istri boleh bekerja atau tidak setelah menikah. Itu juga menjadi hal yang ribet sebenarnya. Tapi jika kita mengenal sifat dan sikap pasangan kita saya rasa perceraian masih sebagai opsi yang urutannya paling akhir. Masalah-masalah seperti itu mudah terjadi pada pernikahan dini. Jika masalah-masalah tersebut tidak diselesaikan dengan kedewasaan, kepala dingin, menurunkan ego dan sikap saling respect. Maka orang yang menikah muda akan lebih rentan melakukan perceraian.
            Masih banyak faktor lainnya yang membuat perceraian banyak terjadi. Saya rasa faktor-faktor tersebut terjadi karena banyak hal seperti yang tadi saya bilang tentang kurang mengenal kepribadian masing-masing karena terlalu singkat dalam tahap pengenalan atau karena pondasinya. Dalam hal ini menurut saya ialah rasa cinta kasih dan sayang yang seharusnya tetap menjadi alasan dasar dalam mempertahankan hubungan.Memang tidak semua pernikahan muda hanya berusia seumur jagung. Mungkin karena memang mereka yang memutuskan menikah muda sudah benar-benar memiliki bekal yang baik. Sehingga pernikahan tersebut bisa berlangsung lama. Tetapi saya tetap menghindari hal tersebut. Untuk bisa hidup bersama orang yang diharapkan dapat membimbing dan menjadikan kita pribadi yang lebih baik. Hal itu membutuhkan proses pengenalan yang membutuhkan waktu untuk bisa saling tahu bagaimana pasangan kita dan juga memupuk rasa cinta kasih sayang agar semakin kuat. Maka nikah muda yang terburu-buru bukan menjadi pilihan saya.