Metodologi Studi Islam adalah mata kuliah yang saya
pelajari di semester 2 yang diampu oleh Bapak Endy Saputra, M.A . Di semester 1
beliau juga mengajar di kelas saya pada mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.
Setiap tugas mata kuliah beliau, membuat para mahasiswanya terutama saya menjadi
punya pengalaman baru semasa kuliah di IAIN Surakarta ini yang mungkin tidak
bisa saya dapatkan dari dosen lain. Contohnya untuk memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah Peradaban Islam saya harus “mendongengkan” salah satu bab yang ada di
buku Sejarah Islam Yang Hilang karya Firas Alkhateeb. Tempatnya ditentukan
antara di depan Galeri FEBI atau perpustakaan pusat IAIN Surakarta. Yang mana
itu dilihat oleh banyak orang berlalu lalang, direkam, dan di upload ke youtube.
Untuk pertama kalinya saya berbicara di depan banyak orang di tempat umum. Itu
sangat-sangat membuat mental saya teruji selain harus mengingat-ingat cerita
yang akan saya sampaikan saya juga harus menghilangkan rasa malu dan
ketidakpercayaan diri saya . Namun itu salah satu pengalaman yang berkesan bagi
saya.
Bertemu lagi dengan beliau di semester 2 ini. Saya
sempat penasaran tugas ”olahraga jantung” apalagi yang mungkin diberikan oleh
Pak Endy selain tugas-tugas beliau yang selalu “memaksa” mahasiswanya untuk gemar
membaca. Dalam rangka mengetahui bagaimana cara klasik studi islam diajarkan
beliau memberi tugas untuk live in di
pondok pesantren selama 1 x 24 jam. Wah! Itu sedikit apa ya? begitulah
pokoknya. Kehidupan di pondok pesantren itu belum pernah terpikirkan untuk saya
masuki. Entahlah apa alasannya saya juga tidak tahu. Baik kali ini saya akan
menceritakan perjalanan saya dari mencari pondok pesantren hingga saya selesai live in di pondok pesantren.
Pada tanggal 8 Maret 2018 tepat hari kamis sekitar jam
9 saya dan 4 teman saya yang lain mencari pondok pesantren menggunakan sepeda
motor di sekitaran Sukoharjo. Awalnya saya mendapat informasi pondok pesatren
di daerah Ngemplak. Saat saya dan teman-teman kesana kita tidak menemukan
tempatnya. Lalu kita berhenti di gubug sawah pinggir jalan untuk mencari pondok
pesantren di Sukoharjo lewat google. Ketemulah beberapa daftar pondok
pesantren. Kita sortir pondok pesantren yang jaraknya paling dekat dari tempat
berhenti kita tadi. Pilihan kita jatuh pada Pondok Pesantren Tahfizhul Qura’an
Ulul Albab. Saat kita buka websitenya terpampang foto santriwati bercadar. Agak
sedikit syok sih karena kemungkinan
besar saya dan yang lain harus ikut bercadar seperti mereka. Tapi enggak apa-apa juga kita coba aja dulu.
Ponpes khusus tahfiz ini terletak di Tulakan, Godog,
Polokarto Tromol Pos 02, Sukoharjo. Sesampainya disana saya bertemu dengan Umi
Latifah, setahu saya beliau adalah orang yayasan. Awalnya saat kita meminta
izin ke beliau terkesan kurang welcome
, saya tidak tahu apa alasannya apa mungkin karena pakaian yang saya dan
teman-teman kenakan atau yang lain entahlah. Namun setelah itu Umi Latifah
menghubungi Ustadz Halim selaku pimpinan ponpes. Saya dan yang lain diminta
untuk bertemu dengan Ustadz Halim di kantor ponpesnya untuk bisa menyampaikan
langsung maksud dan tujuan kita datang kesana. Saat saya masuk ke gedung baru
yang di dalamnya ada masjid dan kantor. Saya disambut dengan tatapan-tatapan
para santri yang awalnya sedang mengaji. Saya dan teman-teman seperti artis
baru yang menjadi pusat perhatian mereka. Sampai salah satu santri yang
kira-kira masih seumuran SD menghampiri saya dan bertanya mau kemana. Mungkin
karena almamater jeruk baby yang saya kenakan yang terlihat begitu mencolok bagi
mereka.
Sesampainya di kantor saya menyampaikan maksud dan
tujuan saya datang ke Pondok Pesantren Tahfizh Quran Ulul Albab ini. Saya
bernegosiasi untuk bisa mendapatkan izin live
in 1 x 24 jam di ponpes tersebut. Bersyukur Ustadz Halim mengizinkan saya
dan teman-teman menginap. Beliau menyampaikan hanya bisa menyediakan tempat
untuk tidur dan juga menyarankan kita untuk menyesuaikan pakaiannya dengan
santriwati disana. Saya menyanggupi hal tersebut karena juga sebagai bentuk
rasa menghargai terhadap para santriwati dan ustadzah disana. Saat saya datang
saya belum menentukan kapan saya dan teman-teman akan live in karena belum berdiskusi dan disesuaikan juga dengan jadwal
kuliah dan jadwal yang ada di pondok pesantren. Kemudian kita berpamitan untuk
ke kampus. Di perjalanan kita mampir untuk makan siang di warung mi ayam bakso.
Sampai di kampus saya mengurus surat perizinan
di akademik untuk diberikan ke pimpinan ponpes. Alhamdulillah tidak direvisi seperti saat pertama kali saya
mengajukan surat izin mengajar yang direvisi sampai 4 kali. Hanya saja saya
lupa mencetak sebanyak 2 lembar sebagai arsip di akademik, jadi saya balik ke
tempat fotocopy-an untuk mencetak 1
lembar lagi. Surat izin saya antarkan ke ponpes pada hari selasa sekalian make sure kapan akan live in di ponpes tersebut. Saya dan
teman-teman memilih hari Sabtu sore hingga minggu sore tanggal 17-18 Maret
2018. Awalnya kita akan live in pada
tanggal 10-11 Maret, tetapi karena ponpes belum siap jadi diundur satu minggu.
Tibalah waktunya saya menginap satu hari satu malam di
Pondok Pesantren Tahfiz Ulul Albab. Dengan berbekal baju gamis pinjaman teman
dan cadar delapan ribuan saya berangkat jam setengah 3 sore dengan keadaan
hujan yang cukup deras. Menggunakan mantol, mengendarai motor, dan memboncengi
teman saya di belakang alhamdulillah
bisa sampai dengan selamat dan basah. Kedatangan saya tetap saja menarik bagi
mereka. Padahal saya sudah menyesuaikan pakaian saya sperti mereka. Disana kita
disambut oleh Ustadzah Dini dan Ustadzah Hanifah sebagai pembimbing selama saya
berada di ponpes. Saya langsung digiring ke pondok kawasan ulya lantai dua
ruang IST singkatan dari Imarotusy
Syu’unit Thalibaat sejenis OSIS jika di sekolah menengah.
Dalam suasana hujan yang masih sayup-sayup turun saya
disuguhi segelas teh anget dan kipas angin yang menyala pas menghadap saya,
nikmat sekali. Saat saya mau meminum teh angetnya teman-teman saya sudah pada
menanyakan bagaimana kegiatan-kegiatan yang ada disana. Baru beberapa seruput,
mereka sudah tanya bagaimana tes awal masuk pondok pesantren. Mbok basa-basi dulu istirahat dulu
setelah satu jam perjalanan kita lewati bersama, tapi mungkin mereka saking
semangatnya live in di ponpes ini
sampai tidak mau menyianyiakan waktunya. Lalu karena saya dan yang lain belum
sempat sholat ashar kita izin untuk melaksanakan sholat ashar. Sekaligus
diantarkan ke tempat istirahat tamu yang ada di lantai satu.
Beristirahat sampai saat adzan maghrib tiba. Di susul
bunyi bel sebanyak tiga kali pertanda para santriwati untuk persiapan sholat
maghrib berjamaah. Saya ikut untuk sholat maghrib berjamaah di mushola lantai
tiga bersama santrwati lainnya. Tanda bel dua kali artinya santriwati sudah
harus berada di mushola dan bel satu kali adalah tanda keterlambatan. Di
mushola itu lagi-lagi saya merasa seperti anak santriwati baru. Saya malah agak
takut dengan tatapan mereka. Sambil menunggu waktu iqomah diisi dengan membaca
Al-quran atau menghafal surat. Kemudian sholat maghrib dimulai, diimami oleh
imam perempuan. Jujur saat imam membaca surat pendek dalam sholat saya tidak
tahu surat apa yang sedang dibaca. Itu menandakan saya memang miskin akan
pengetahuan surat-surat di Al-quran. Namun tidak heran juga karena mereka
dididik untuk menjadi hafizhul quran.
Selesai sholat maghrib dilanjutkan dengan qira’ah
bersama-sama selama kurang lebih 10 menit. Setelah qira’ah saya ke ruang
istirahat tamu dan kemudian saya makan makanan yang telah disediakan oleh
Ustdazah Dini dan Ustadzah Hanifah. Saya merasa tidak enak sekaligus enak.
Tidak enak karena telah merepotkan dan enak karena makanannya ayam goreng.
Santriwati juga makan, mereka menggunakan nampan sebagai tempat nasi dan
lauknya, biasanya sekalian untuk satu kamar. Makan sambil bercerita sampai
masuk waktunya sholat isya. Sama seperti saat
sholat maghrib hanya saja selesai sholat tidak ada qira’ah. Saat selesai
sholat saya mewawancarai beberapa santriwati mereka adalah Imah, Hanifah,
Meyla, dan Wardah.
Saya bertanya kepada mereka bagaimana cara mereka
menghafal surat-surat yang ada di Al-quran. Mereka selalu membaca
berulang-ulang menggunakan Al-quran hafalan berwana merah atau hijau terus
sampai mereka hafal. Setoran hafalan terserah pada santri bisa satu muka, satu lembar, dan sebagainya.
Dengan nada ceria dan malu-malu mereka menceritakan apa saja kegiatan yang ada
di pondok pesantren. Seperti sabtu sore tadi seharusnya ada kegiatan halaqoh
yaitu dakwah keliling. Biasanya santri akan tausyiah di tempat terbuka seperti
di sawah namun karena keadaan hujan jadi tidak dilakukan. Saya terus
berbincang-bincang dengan mereka. Mereka sangat santun dan sangat pemalu.
Hanifah contohnya dia sudah hafal 30 juz asli dari Bima NTB. Dia jauh-jauh
sampai Sukoharjo untuk bisa menjadi hafizh. Dia tidak memilih pondok pesantren
tahfiz yang ada di NTB karena dia merasa disana kurang serius tidak seperti yang
ada di Ulul Albab. Saking pemalunya Hanifah dia meminta temannya untuk
menyampaikan pertanyaan yang ingin ditanyakan kepada saya dan teman-teman.
Pertanyaan dari Hanifah ini disampaikan oleh Meyla.
Pertanyaan ini membuat saya mengaduh dalam hati. Dia bertanya “kakak sudah
hafal berapa juz?”. Jawaban saya hanya senyum pada saat itu. Tidak tahu mau
jawab apa karena malu dengan adik-adik ini. Malah mereka yang memberi kita
semangat untuk ayolah kak mumpung masih ada waktu menghafal Al-quran. Saya
lagi-lagi hanya tersenyum, saya merasa bukan apa-apa dibandingkan dengan
mereka. Lalu saya alihkan mereka melanjutkan pertanyaan saya tentang
kegiatan-kegiatn di pondok pesantren. Setelah sholat isya berjamaah akan ada
acara penertiban peraturan oleh IST. Biasanya akan diumumkan siapa-siapa saja
yang telah melanggar peraturan seperti datng terlambat saat sholat dan kamar
siapa yang paling bersih dan kotor.
Setelah perbincangan tadi saya kembali ke ruang
istirahat. Sedangkan santriwati persiapan untuk belajar malam dari jam 8 sampai
jam 9 malam. Kemudian mereka tidur sampai jam 3 untuk melaksanakan sholat
tahajud. Selesai sholat tahajud biasanya diisi dengan tadarus untuk menunggu
sholat subuh. Jam 4 dimulai sholat subuh berjamaah. Selesai sholat subuh mereka
menyempatkan untuk dzikir pagi. Baru setelah itu persiapan untuk muraja’ah
yaitu mengulang hafalan Al-quran. Sebelum muraja’ah mereka ada yang mandi,
mencuci baju, menonton tv yang hanya berisi tausyiah atau pembacaan Al-quran,
dan sarapan. Setelah itu mereka muraja’ah dari jam 6 sampai jam 9. Biasanya
santriwati mengunjungi rumah ustadzah pembimbingnya untuk mengulang hafalan.
Saat sudah selesai mandi dan sarapan saya mengunjungi
salah satu Ustadzah yang sedang menyimak santriwati yang muraja’ah. Saat itu
mereka sedang mengulang hafalan surat Yusuf, Ar Rad, dan Ibrahim. Dua
santriwati duduk saling berhadapan dengan posisi Ustadzah di tengah. Di atas
meja antara dua santriwati terdapat Al-quran milik santriwati dalam posisi terbuka
sesuai surat yang dihafal. Mereka lalu melantunkan hafalan-hafalannya. Setelah
selesai mengulang hafalan, sekitar setengah 9 mereka kemudian mengikuti apel
pagi sebelum mengikuti pembelajaran. Pembelajaran dilaksanakan pada hari sabtu
sampai kamis, sedangkan tahfiznya dari hari ahad sampai kamis. Di ponpes Ulul
Albab ini terdapat sekolah setara dengan SMP atau disebut wustho dan SMA yang
disebut ulya/aliyah. Ada juga TQM atau Tahfiz Quran Murni yang hanya fokus pada
haflan saja tanpa mngikuti pembelajaran setara SMP/SMA.
Wustho maupun ulya masing-masing memiliki empat
tingkatan, yaitu tahun pertama adalah kelas takasus. Kelas ini khusus untuk
pelajaran-pelajaran keagamaan seperti aqidah, bahasa arab, fiqih, ulumul quran,
tahsin, tajwid, dan sebagainya. Sedangkan pada kelas 1, 2, dan 3 baru dimasukkan
pelajaran umum seperti Matematika, Bahasa Inggris, IPA, IPS, dan Bahasa
Indonesia. Mereka menggunakan sistem paket untuk mendapatkan ijazahnya. Saya
melihat-lihat suasana kelas wustho dan ulya. Saya masuk ke kelas wustho
takasus. Saya disambut dengan sapaan yang bersemangat dari santriwati disana
dengan menggunakan bahasa arab yang artinya selamat datang bu guru. Setelah itu
saya mengajak mereka untuk foto selfie. Sebelumnya
saya menyilakan mereka yang memakai cadar untuk memakainya terlebih dahulu.
Pada awal-awal masuk memang ada yang memakai cadar ada yang tidak. Namun
setelah beberapa waktu baru mereka semua memakai cadar karena seperti sudah budayanya
sana memakai cadar.
Sudah melihat-lihat kelas saya berkeliling melihat
bangunan yang lain. Seperti pondok kawasan wustho, kamar-kamarnya, dan musholanya.
Pembelajaran selesai sampai waktu dzuhur. Seperti biasa mereka melaksanakan
sholat dzuhur berjamaah. Tetapi saya dan teman-teman tidak ikut sholat dzuhur
berjamaah karena ketiduran setelah berkeliling pondok pesantren. Saya lalu
melaksanakan sholat dzuhur berjamaah dengan teman-teman di ruang istirahat
saja. Selesai dzuhur saya makan siang. Jika tadi pagi saya sarapan dengan lele
bakar. Siang ini saya makan bakso. Begitupun para santriwati, setelah sholat
dzuhur mereka makan siang. Setelah makan siang mereka bisa istirahat atau
persiapan untuk setoran hafalan baru. Mereka ada yang sambil tiduran, duduk di
tangga, di balkon membaca berulang-ulang lalu hafal sambil menunggu sholat
ashar. Setoran baru akan dimulai dari jam 3 sore sampai jam 5 sore sistemnya
sama seperti saat muraja’ah. Terus seperti itu setiap harinya.
Untuk kelulusan santri di ponpes Ulul Albab sendiri
harus memenuhi syarat seperti menghatamkan setoran tahfizh 30 juz dan mengikuti
ujian tiga tahap. Ujian tiga tahap itu, yakni tahap pertama 3 juz perhari
selama 10 hari. Tahap kedua 5 juz perhari selama 6 hari. Tahap ketiga 10 juz perhari
selama 3 hari. Santri Ulya atau TQM yang selesai ujian tahfizh sebelum tahun
terakhir dan memenuhi persyaratan untuk mengajarkan dimagangkan menjadi asisten
guru tahfizh.
Setelah selesai melihat santri menyetorkan hifzhul
jadid atau hafalan baru. Selesai pula live
in saya dan teman-teman di Pondok Pesantren Tahfizh Ulul Albab ini. Kesan
awal saat saya tahu tentang Pondok Pesantren Ulul Albab ada pada cadarnya. Bagaimana
mereka memakai cadar sebagai budaya mereka. Meskipun sekarang ini masih ada
orang yang mengkait-kaitkan muslimah bercadar dengan orang-orang yang menutup
diri, tidak bisa bergaul dengan yang lain, atau bahkan dituduh teroris.
Meskipun memang saya juga baru tahu dari Pak Endy. Bahwa Pondok Pesantren
Tahfizh Ulul Albab itu dulunya adalah tempat para istri mantan teroris. Tetapi
saat saya disana mereka sangat tulus. Mereka melayani tamu dengan sangat mulia.
Kalimat populernya adalah “Don’t judge
book by the cover” . Ini juga sebagai pembelajaran bagi saya untuk bersikap
willingness to suspend judgement atau
tidak terburu-buru dalam melakukan penilaian.
Selain itu memikirkan pertanyaan
dari Hanifah tentang berapa juz yang
sudah bisa saya hafal. Saya memang bukan apa-apa dibanding mereka. Hanya dengan
membacanya berulang-ulang maka otomatis akan hafal di kepala. Sesederhana itu
sebenarnya. Tetapi memang butuh fokus dan kegigihan yang tinggi jika kita
memang ingin menghafal Al-quran. Dan yang paling penting istiqomah dalam
melakukannya. Istiqomahnya itu yang tidak mudah. Karena dengan kesibukan saya
atau teman-teman akan perkuliahan ini. Namun bukan sebagai alasan yang tepat
juga tidak bisa menghafal karena mungkin tugas kuliah yang tiada berhentinya.
Kembali lagi bagaimana orientasi kita dalam kehidupan ini. Saya pun masih sulit
unutk melakukan itu.
Selama di pondok pesantren saya
belajar dari kesederhanaan mereka. Bukan berarti saya hidup mewah. Tetapi
bagaimana keinginan mereka yang ingin membanggakan orangtunya dengan menghafal
Al-quran dan menjad hafizh itu sungguh sangat mulia. Makan sederhana, tidur
dengan kasur yang hanya muat satu orang, tidak boleh menonton televisi selain
acara tausyiah, atau tidak menggunakan komputer atau smartphone. Yang mungkin
anak zaman sekarang susah untuk menjauh dari gadget-nya terlepas dari dampak buruknya. Smartphone memang sangat
dibutuhkan apalagi sebagai mahasiswa yang hampir semua informasi disampaikan
atau diakses lewat smartphone. Saya jadi punya keinginan saat saya punya anak
nanti mungkin saya akan memasukkannya ke pondok tahfizh.
Pengalaman baru lagi yang saya bisa
dapatkan dari tugas yang diberikan oleh Pak Endy. Selalu membuat mahasiswanya
memiliki hal-hal yang berkesan selama di semester 1 dan 2 ini. Mempunyai
cerita-cerita baru yang bisa diularkan ke teman-teman yang lain. Sayang, beliau
hanya mengajar pada semester 1 dan 2 saja. Coba kalau sampai semester 5 atau 6,
mungkin kita diberi tugas untuk jalan-jalan keluar negeri. Who Knows?
0 komentar:
Posting Komentar